PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
RANGKUMAN MATERI
PERKULIAHAN PERTEMUAN
KE-2 PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN
Hakikat pendidikan kewarganegaraan dalam :
1.
1. Pengembangan Kemampuan Utuh Sarjana dan
Profesional
Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia,
mempelajari tentang Pendidikan Kewarganegaraan merupakan suatu hal yang sangat
penting. Karena dengan mempelajari nya kita dapat menjadi orang yang paham
betul tentang bangsa kita yaitu Indonesia, menjadi orang yang memiliki
kepribadian dan berkarakter Indonesia, menjadi orang yang dapat membangun rasa
cinta terhadap tanah air dan menjadi orang yang dapat membangun apa itu rasa
kebangsaan di dalam diri sendiri. Oleh karena nya para Sarjana dan Profesional
dituntut untuk dapat mempelajari semua yang terjabar di atas tadi.
Untuk para lulusan program sarjana
diharapkan dapat melaksanakan tiga hal ini:
-
Dapat menjadi intelektual dan ilmuwan yang berbudaya
-
Mampu memasuki dan menciptakan lapangan kerja sendiri
-
Mampu mengembangkan diri sendiri menjadi seorang professional
Profesional adalah suatu pekerjaan atau
kegiatan yang dapat menjadi sumber penghasilan, memerlukan keahlian / skill,
kemahiran, dan kecakapan, memiliki standar mutu, ada norma dan diperoleh
melalui pendidikan profesi.
Bagi para Sarjana dan Profesional harus
dapat merealisasikan setiap nilai-nilai yang telah di pelajari dalam Pendidikan
Kewarganegaraan sehingga terciptalah lingkungan yang kaya akan pengetahuan
mengenai Pendidikan Kewarganegaraan.
2. 2. Konsep dan Urgensi Pendidikan
Kewarganegaraan dalam Pencerdasan Kehidupan Bangsa
Pada umumnya tujuan dari Pendidikan
Kewarganegaraan adalah untuk membentuk warga negara menjadi orang yang baik.
Pendidikan Kewarganegaraan dinilai sangat penting untuk mendorong dalam hal
pencerdasan kehidupan bangsa karena dapat berguna untuk mempertahankan keutuhan
NKRI. Sebagai contoh bagi para Mahasiswa, Pendidikan Kewarganegaraan itu
sangatlah perlu, untuk menumbuhkan rasa nasionalisme dan patriotisme,
Pendidikan Kewarganegaraan juga dinilai mampu membentuk serta mengembangkan
sikap dan moral dari mahasiswa itu sendiri. Karena mahasiswa merupakan generasi
muda penerus yang kelak akan memajukan bangsa nya.
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan nilai-nilai
yang harus ditumbuhkan sejak dini untuk memupuk rasa cinta terhadap tanah air
Indonesia, disamping itu rasa kepedulian terhadap sesama juga harus ditanamkan,
karena ini merupakan salah satu aspek sosial dalam Pendidikan Kewarganegaraan.
Pendidikan Kewarganegaraan perlu dipelajari sebagi bekal untuk membentuk pribadi
yang bertanggung jawab dan dapat diandalkan di masa depan kelak.
3. 3.Esensi dan Urgensi Pendidikan
Kewarganegaraan untuk Masa Depan
Suatu bangsa perlu menyelenggaran
Pendidikan Kewarganegaraan, karena setiap generasi adalah orang baru yang
berhak mendapat pengetahuan dan keterampilan agar dapat menjadi generasi penerus
yang berkarakter dan memiliki otak cerdas. Dengan mempelajari Pendidikan
Kewarganegaraan kita dapat menyelesaikan semua masalah dengan pikiran yang
lapang dan terbuka, serta dapat menjadikan kita sebagai peibadi yang lebih
mengutamakan kepentingan orang banyak dibanding kepentingan golongan. Yang
terpenting dari mempelajari Pendidikan Kewarganegaraan bukanlah teori nya
melainkan lebih ke praktik.
Pendidikan Kewarganegaraan ada untuk menunjang
lahir nya para pemimpin hebat di masa depan. Para pemimpin yang memiliki sifat
dan karakter yang bagus, dan para pemimpin yang memiliki rasa loyalitas besar
terhadap negara nya sendiri. Bisa dibayangkan, bagaimana jika Pendidikan
Kewarganegaraan ini tidak Ditanamkan sejak dini kepada para generasi penerus
bangsa, maka yang akan terjadi hanyalah satu, yaitu KEHANCURAN. Kehancuran yang dimaksud adalah tidak adanya rasa cinta
tanah air tertanam di diri setiap individu karena tidak ada nya pembekalan
mengenai itu, tidak ada nya rasa nasionalisme dan patriotism di dalam diri
sehingga tidak tahu bagaimana harus menghormati jasa para pahlawan yang telah
berjuang untuk kemerdekaan bangsa dan negara ini, serta tidak ada nya rasa
peduli terhadap sesame individu, yang berarti hanya mengutamakan keegoisan
masing-masing saja. Kita tidak ingin hal-hal seperti ini terjadi, Oleh karena
itu Pendidikan Kewarganegaraan adalah suatu hal yang wajib di pelajari oleh
setiap individu generasi penerus di masa depan.
RINGKASAN
PEMBAHASAN MATERI PERTEMUAN KE-3 PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
1.
1. Menggali Sumber Historis, Sosiologis, dan
Politik tentang Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia
Secara historis, Pendidikan
kewarganegaraan telah dimulai jauh sebelum Indonesia merdeka. Pada zaman itu.
Pendidikan Kewarganegaraan pada saat itu lebih banyak disuarakan oleh para
pemimpin bangsa, mereka menyerukan di dalam pidato nya agar mencintai tanah air
dan bangsa Indonesia. Dengan menyerukan pidato seperti itu mereka berhasil
membakar semangat para rakyat untuk mengusir para penjajah dari negeri ini,
jadi pendidikan kewarganegaraan sangatlah penting bahkan pada zaman penjajahan.
Secara sosiologis, Pendidikan kewarganegaraan
dilakukan pada zaman pasca kemerdekaan dengan cara melakukan pidato dan ceramah
oleh para pemimpin dan para kyai-kyai di pondok-pondok pesantren dengan tujuan
untuk mengajak para umat ikut serta dalam mempertahankan tanah air bangsa
Indonesia. Pendidikan kewarganegaraan dalam aspek sosial sangatlah dibutuhkan
oleh masyarakat karena inilah yang akan membantu menjaga, memlihara dan mempertahankan
bangsa kita.
Dan secara politis, Pendidikan
kewarganegaraan ini mulai dikenal pada masa pendidikan di sekolah. Pada saat
itu (masa orde lama) Pendidikan kewarganegaraan membahas tentang cara pemrolehan
dan kehilangan kewarganegaraan. Dan pada saat masa orde baru yang membahas
tentang materi dan metode pembelajaran baru yang dikelompokkan menjadi kelompok
Pembinaan Jiwa pancasila. Pada inti nya Pendidikan kewarganegaraan akan terus
mengalami perubahan sejalan dengan perubahan sistem pemerintah dan
ketatanegaraan, terutama perubahan konstitusi.
2. 2. Hakikat dan Pentingnya Pendidikan
Kewarganegaraan
Pendidikan kewarganegaraan sangat
diperlukan, karena setiap generasi muda adalah orang baru yang harus
mendapatkan pengetahuan dan wawasan agar mampu menjadi seorang warga negara
yang berbudi pekerti baik dan berkarakter bagus. Pendidikan kewarganegaraan ada
untuk membentuk pada diri seseorang rasa cinta terhadap tanah air dan bangsa.
Pendidikan kewarganegaraan adalah sebuah pendidikan yang bertujuan untuk
mempersiapkan masyarakat berfikir secara kritis dan bertindak secara demokratis,
melalui aktivitas penanaman kesadaran kepada generasi baru, bahwa demokrasi
adalah bentuk kehidupan yang paling menjamin terwujudnya hak-hak masyarakat.
RINGKASAN MATERI PERTEMUAN
KE-4 PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
BAB 2
“BAGAIMANA ESENSI
DAN URGENSI IDENTITAS NASIONAL SEBAGAI SALAH SATU DETERMINAN PEMBANGUNAN BANGSA
DAN KARAKTER ?”
1.
1. Bendera
negara Sang Merah Putih
Bendera Sang Merah Putih dikibarkan saat
proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945. Ketentuan- ketentuan
tentang bendera Negara ini terdapat dalam UU No.24 Tahun 2009 pasal 4 sampai
24. Bendera Sang Merah Putih di simpan dan dipelihara dengan baik di Monumen
Nasional Jakarta.
2. 2. Bahasa negara Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia yang digunakan sebagai
bahasa negara merupakan hasil kesepakatan dari para pendiri Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Bahasa Indonesia berasal dari Bahasa Melayu yang kemudian
diikrarkan menjadi bahasa Persatuan Banga Indonesia.
3. 3. Lambang negara Garuda Pancasila
Dalam UU No.24 Tahun 2009 diatur Ketentuan
tentang Lambang Negara, yaitu pada pasal 46 – pasal 57. Garuda adalah burung khas
Indonesia yang dijadikan lambing negara. Ditengah-tengah perisai burung Garuda
terdapat sebuah garis hitam tebal yang melukiskan khatulistiwa. Pada perisai
terdapat lima buah ruang yang mewujudkan dasar Pancasila.
4. 4. Lagu Kebangsaan Indonesia Raya
Dalam UU No.24 Tahun 2009 pada pasal 58-
pasal 64 diatur mengenai Ketentuan tentang Lagu Kebangsaan Indonesia Raya.
5. 5. Semboyan Negara Bhinneka Tunggal
Ika
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika artinya
walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Semboyan ini dirumuskan oleh para
“the founding fathers” mengacu pada kondisi masyarakat Indonesia yang sangat
pluralis yang dinamakan oleh Herbert Feith (1960), yang menyatakan bangsa
Indonesia seperti “mosaic society” yang memiliki arti walaupun sebuah lukisan
mosaic memiliki beragam warna namun karena tersusun dengan baik maka
keanekaragaman tersebut dapat tersusun menjadi sebuah keindahan dan dapat
dinikmati keindahannya oleh siapapun yang melihatnya.
6. 6. Dasar Falsafah Negara Pancasila
Pancasila berfungsi sebagai dasar negara,
ideologi nasional, falsafah negara, pandangan hidup bangsa, way of life, dan
lain sebagainya. Pancasila hanya ada di Indonesia, pancasila telah menjadi
kekhasan Indonesia, artinya pancasila menjadi penciri banga Indonesia. Dengan
kata lain, Pancasila sebagai identitas nasional memiliki makna bahwa seluruh
rakyat Indonesia seypgyanya menjadikan Pancasila sebagai Landasan dalam
berfikir, bertindak, bersikap dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Dinamika dan Tantangan Identitas Nasional
Indonesia
Tantangan dan masalah yang dihadapi
terkait dengan Pancasila telah banyak mendapat tanggapan dari analisis sejumlah
pakar. Menurut Tilaar (2007) Pancasila telah terlanjur tercemar dalam era Orde
Baru yang telah menjadikan Pancasila sebagai kendaraan politik untuk mepertahankan
kekuasaan yang ada.
Bagaimana menghadapi tantangan terkait
dengan masalah kecintaan terhadap bendera negara merah putih, pemeliharaan
bahasa negara Indonesia, penghormatan terhadap lembaga negara dan symbol bangsa
sendiri, serta apresiasi terhadap lagu kebangsaan Indonesia ?
Pada dasarnya, semua unsur formal
identitas nasional, baik yang langsung maupun secara tidak langsung diterapkan,
perlu dipahami, diamalkan dan diperlakukan sesuai dengan peraturan dan
perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu sebagai seorang warga negara
yang baik akan berupaya belajar secara berkelanjutan agar menjadi warga negara
yang hanya baik namun juga cerdas.
Ringkasan materi
pertemuan ke-5
BAB 3
BAGAIMANA URGENSI
INTEGRASI NASIONAL SEBAGAI SALAH SATU PARAMETER PERSATUAN DAN KESATUAN BANGSA ?
A. Menelusuri
Konsep dan Urgensi Integrasi
1. Makna
Integrasi Nasional
Kita dapat menguraikan istilah tersebut
dari dua pengertian: secara etimologi dan terminologi. Pengertian etimologi
dari integrasi nasional berarti mempelajari asal usul kata pembentuk istilah
tersebut. Secara Terminologi dapat diartikan penggunaan kata sebagai suatu
istilah yang telah dihubungkan dengan konteks tertentu. Konsep integrasi
nasional dihubungkan dengan konteks tertentu dan umumnya dikemukakan oleh para
ahlinya. Berikut salah satu [pengertian Integrasi nasional oleh seorang ahli,
yaitu Saafroedin Bahar (1996) yang menyatakan integrasi nasional sebagai “Upaya
menyatukan seluruh unsur suatu bangsa dengan pemerintah dan wilayahnya”
Selanjutnya apakah integrasi nasional ada padanannya dalam Bahasa Inggris?
Istilah Integrasi nasional dalam bahasa Inggrisnya adalah “national
integration”. "Integration"
berarti kesempurnaan atau keseluruhan. “Nation”
artinya bangsa sebagai bentuk persekutuan dari orang-orang yang berbeda latar
belakangnya, berada dalam suatu wilayah dan di bawah satu kekuasaan politik.
Integrasi Nasional adalah usaha – usaha
dan proses mempersatukan perbedaan – perbedaan yang ada pada suatu negara
sehingga tercapainya keserasian dan keselarasan secara nasional.
2. Jenis
Integrasi Nasional
Dalam realitas nasional integrasi nasional
dapat dilihat dari tiga aspek yakni aspek politik, ekonomi, dan sosial budaya.
Dari aspek politik, lazim disebut integrasi politik, aspek ekonomi (integrasi
ekonomi), yakni saling ketergantungan ekonomi antar daerah yang bekerjasama
secara sinergi, dan aspek sosial budaya (integrasi sosial budaya) yakni
hubungan antara suku, lapisan dan golongan. Berdasar pendapat ini, integrasi
nasional meliputi: 1) Integrasi politik, 2) Integrasi ekonomi, dan 3) integrasi
sosial budaya.
a. Integrasi
Politik
Di dalam integrasi politik terdapat
dimensi vertikal dan horizontal. Dimensi yang bersifat vertikal menyangkut
hubungan elit dan massa, baik antara elit politik dengan massa pengikut, atau
antara penguasa dan rakyat guna menjembatani celah perbedaan dalam rangka
pengembangan proses politik yang partisipatif. Dimensi horizontal menyangkut
hubungan yang berkaitan dengan masalah teritorial, antar daerah, antar suku,
umat beragama dan golongan masyarakat Indonesia.
b. Integrasi
Ekonomi
Berarti terjadinya saling ketergantungan
antar daerah dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup rakyat. Di sisi lain,
integrasi ekonomi adalah penghapusan (pencabutan) hambatanhambatan antar daerah
yang memungkinkan ketidaklancaran hubungan antar keduanya, misal peraturan,
norma dan prosedur dan pembuatan aturan bersama yang mampu menciptakan
keterpaduan di bidang ekonomi.
c. Integrasi
Sosial Budaya
Merupakan proses penyesuaian unsur-unsur
yang berbeda dalam masyarakat sehingga menjadi satu kesatuan. Unsur-unsur yang
62 berbeda tersebur dapat meliputi ras, etnis, agama bahasa, kebiasaan, sistem
nilai, dan lain sebagainya.
3. Pentingnya
Integrasi Nasional
Menurut Myron Weiner dalam Surbakti
(2010), dalam negara merdeka, faktor pemerintah yang berkeabsahan (legitimate)
merupakan hal penting bagi pembentukan negara-bangsa. Hal ini disebabkan tujuan
negara hanya akan dapat dicapai apabila terdapat suatu pemerintah yang mampu
menggerakkan dan mengarahkan seluruh potensi masyarakat agar mau bersatu dan
bekerja bersama.
Kemampuan ini tidak hanya dapat dijalankan
melalui kewenangan menggunakan kekuasaan fisik yang sah tetapi juga persetujuan
dan dukungan rakyatnya terhadap pemerintah itu. Jadi, diperlukan hubungan yang
ideal antara pemerintah dengan rakyatnya sesuai dengan sistem nilai dan politik
yang disepakati. Hal demikian memerlukan integrasi politik.
Integrasi diperlukan guna menciptakan
kesetiaan baru terhadap identitasidentitas baru yang diciptakan (identitas
nasional), misal, bahasa nasional, simbol negara, semboyan nasional, ideologi
nasional, dan sebagainya.
4. Integrasi
versus Disintegrasi
Jika integrasi berarti penyatuan,
keterpaduan antar elemen atau unsur yang ada di dalamnya, disintegrasi dapat
diartikan ketidakpaduan, keterpecahan di antara unsur unsur yang ada. Jika
integrasi terjadi konsensus maka disintegrasi dapat menimbulkan konflik atau
perseturuan dan pertentangan.
Disintegrasi bangsa adalah memudarnya
kesatupaduan antar golongan, dan kelompok yang ada dalam suatu bangsa yang
bersangkutan. Gejala disintegrasi merupakan hal yang dapat terjadi di masyarakat.
Masyarakat suatu bangsa pastilah menginginkan terwujudnya integrasi. Namun,
dalam kenyataannya yang terjadi justru gejala disintegrasi. Disintegrasi
memiliki banyak ragam, misalkan pertentangan fisik, perkelahian, tawuran,
kerusuhan, revolusi, bahkan perang.
RINGKASAN MATERI
KEWARGANEGARAAN PERTEMUAN KE-6
B. B. Menanya Alasan Mengapa Diperlukan Integrasi
Nasional
Berikut
ini contoh-contoh pertanyaan yang bisa Anda ajukan jika belum paham mengenai
alasan mengapa diperlukan integrasi nasional :
·
Apakah integrasi bisa berarti pembauran atau
penyatuan?
·
Apakah istilah nasional bisa disamakan dengan
istilah bangsa?
·
Dalam hal integrasi bangsa, sebenarnya hal-hal
apakah yang diintegrasikan itu?
·
Mengapa setiap bangsa memerlukan integrasi?
·
Apa yang terjadi seandainya negara tidak
berintegrasi?
·
Seperti apakah negara yang tidak mampu
berintegrasi?
·
Adakah contoh–contoh negara yang tidak mampu
melakukan integrasi?
·
Adakah contoh-contoh negara yang telah mampu
melakukan integrasi?
C. C. Menggali Sumber Historis, Sosiologis,
Politik tentang Integrasi Nasional
1. Perkembangan sejarah integrasi di Indonesia
Menurut Suroyo (2002)ada tiga
model integrasi dalam sejarah perkembangan integrasi di Indonesia, yakni 1)
model integrasi imperium Majapahit, 2) model integrasi kolonial, dan 3) model
integrasi nasional Indonesia.
a. Model integrasi imperium Majapahit
Model integrasi pertama ini
bersifat kemaharajaan (imperium) Majapahit. Struktur kemaharajaan yang begitu
luas ini berstruktur konsentris. Dimulai dengan konsentris pertama yaitu
wilayah inti kerajaan (nagaragung): pulau Jawa dan Madura yang diperintah
langsung oleh raja dan saudarasaudaranya. Konsentris kedua adalah wilayah di
luar Jawa (mancanegara dan pasisiran) yang merupakan kerajaan-kerajaan otonom.
Konsentris ketiga (tanah sabrang) adalah negara-negara sahabat di mana
Majapahit menjalin hubungan diplomatik dan hubungan dagang, antara lain dengan
Champa, Kamboja, Ayudyapura (Thailand).
b. Model integrasi kolonial
Model integrasi kedua atau
lebih tepat disebut dengan integrasi atas wilayah Hindia Belanda baru
sepenuhnya dicapai pada awal abad XX dengan wilayah yang terentang dari Sabang
sampai Merauke. Pemerintah kolonial mampu membangun integrasi wilayah juga
dengan menguasai maritim, sedang integrasi vertikal antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah dibina melalui jaringan birokrasi kolonial yang terdiri dari
ambtenaar-ambtenaar (pegawai) Belanda dan pribumi yang tidak memiliki jaringan
dengan massa rakyat. Dengan kata lain pemerintah tidak memiliki dukungan massa
yang berarti. Integrasi model kolonial ini tidak mampu menyatukan segenap
keragaman bangsa Indonesia tetapi hanya untuk maksud menciptakan kesetiaan
tunggal pada penguasa kolonial.
c. Model integrasi nasional Indonesia
Model integrasi ketiga ini
merupakan proses berintegrasinya bangsa Indonesia sejak bernegara merdeka tahun
1945. Meskipun sebelumnya ada integrasi kolonial, namun integrasi model ketiga
ini berbeda dengan model kedua. Integrasi model kedua lebih dimaksudkan agar
rakyat jajahan (Hindia Belanda) mendukung pemerintahan kolonial melalui
penguatan birokrasi kolonial dan penguasaan wilayah.
Integrasi model ketiga
dimaksudkan untuk membentuk kesatuan yang baru yakni bangsa Indonesia yang
merdeka, memiliki semangat kebangsaan (nasionalisme) yang baru atau kesadaran
kebangsaan yang baru.
Dalam sejarahnya, penumbuhan
kesadaran berbangsa tersebut dilalui dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:
1.
Masa Perintis
2.
Masa Penegas
3.
Masa Percobaan
4.
Masa Pendobrak
2. Pengembangan integrasi di Indonesia
Howard Wriggins dalam Muhaimin
& Collin MaxAndrews (1995) menyebut ada lima pendekatan atau cara bagaimana
para pemimpin politik mengembangkan integrasi bangsa. Kelima pendekatan yang
selanjutnya kita sebut sebagai faktor yang menentukan tingkat integrasi suatu
negara adalah :1) Adanya ancaman dari luar, 2) Gaya politik kepemimpinan, 3)
Kekuatan lembaga–lembaga politik, 4) Ideologi Nasional, dan 5) Kesempatan
pembangunan ekonomi.
a. Adanya ancaman dari luar
Adanya ancaman dari luar dapat
menciptakan integrasi masyarakat. Masyarakat akan bersatu, meskipun berbeda
suku, agama dan ras ketika menghadapi musuh bersama.
Suatu bangsa yang sebelumnya
berseteru dengan saudara sendiri, suatu saat dapat berintegrasi ketika ada
musuh negara yang datang atau ancaman bersama yang berasal dari luar negeri.
Adanya anggapan musuh dari luar mengancam bangsa juga mampu mengintegrasikan
masyarakat bangsa itu.
b. Gaya politik kepemimpinan
Gaya politik para pemimpin
bangsa dapat menyatukan atau mengintegrasikan masyarakat bangsa tersebut.
Pemimpin yang karismatik, dicintai rakyatnya dan memiliki jasa-jasa besar
umumnya mampu menyatukan bangsanya yang sebelumya tercerai berai.
c. Kekuatan lembaga- lembaga politik
Lembaga politik, misalnya
birokrasi, juga dapat menjadi sarana pemersatu masyarakat bangsa. Birokrasi
yang satu dan padu dapat menciptakan sistem pelayanan yang sama, baik, dan
diterima oleh masyarakat yang beragam. Pada akhirnya masyarakat bersatu dalam
satu sistem pelayanan.
d. Ideologi Nasional
Ideologi merupakan seperangkat nilai-nilai yang diterima dan disepakati. Ideologi juga memberikan visi dan beberapa panduan bagaimana cara menuju visi atau tujuan itu. Bagi bangsa Indonesia, nilai bersama yang bisa mempersatukan masyarakat Indonesia adalah Pancasila. Pancasila merupakan nilai sosial bersama yang bisa diterima oleh seluruh masyarakat Indonesia.
e. Kesempatan pembangunan ekonomi
Jika pembangunan ekonomi
berhasil dan menciptakan keadilan, maka masyarakat bangsa tersebut bisa
menerima sebagai satu kesatuan. Namun jika ekonomi menghasilkan ketidakadilan
maka muncul kesenjangan atau ketimpangan. Orang–orang yang dirugikan dan miskin
sulit untuk mau bersatu atau merasa satu bangsa dengan mereka yang diuntungkan
serta yang mendapatkan kekayaan secara tidak adil.
Pendapat lain menyebutkan,
integrasi bangsa dapat dilakukan dengan dua strategi kebijakan yaitu “policy
assimilasionis” dan “policy bhinneka tunggal ika” (Sjamsudin, 1989). Strategi
pertama dengan cara penghapusan sifatsifat kultural utama dari komunitas kecil
yang berbeda menjadi semacam kebudayaan nasional. Asimilasi adalah pembauran
dua kebudayaan yang disertai dengan hilangnya ciri khas kebudayaan asli
sehingga membentuk kebudayaan baru.
D. D. Membangun Argumen tentang Dinamika dan
Tantangan Integrasi Nasional
1. Dinamika integrasi nasional di Indonesia
Terdapat banyak perkembangan
dan dinamika dari integrasi yang terjadi di Indonesia. Dinamika integrasi
sejalan dengan tantangan zaman waktu itu. Dinamika itu bisa kita contohkan
peristiswa integrasi berdasar 5 (lima) jenis integrasi sebagai berikut:
a.
Integrasi bangsa
b.
Integrasi wilayah
c.
Integrasi nilai
d.
Integrasi elit-massa
e.
Integrasi tingkah laku (perilaku negatif)
2. Tantangan dalam membangun integrasi
Dalam upaya mewujudkan
integrasi nasional Indonesia, tantangan yang dihadapi datang dari dimensi
horizontal dan vertikal. Dalam dimensi horizontal, tantangan yang ada berkenaan
dengan pembelahan horizontal yang berakar pada perbedaan suku, agama, ras, dan
geografi. Sedangkan dalam dimensi vertikal, tantangan yang ada adalah berupa
celah perbedaan antara elite dan massa, di mana latar belakang pendidikan
kekotaan menyebabkan kaum elite berbeda dari massa yang cenderung berpandangan
tradisional.
Di era globalisasi, tantangan itu ditambah oleh adanya tarikan global di mana keberadaan negara-bangsa sering dirasa terlalu sempit untuk mewadahi tuntutan dan kecenderungan global. Dengan demikian keberadaan negara berada dalam dua tarikan sekaligus, yaitu tarikan dari luar berupa globalisasi yang cenderung mangabaikan batas-batas negarabangsa, dan tarikan dari dalam berupa kecenderungan menguatnya ikatanikatan yang sempit seperti ikatan etnis, kesukuan, atau kedaerahan. Di situlah nasionalisme dan keberadaan negara nasional mengalami tantangan yang semakin berat. Di sisi lain, tantangan integrasi juga dapat dikaitkan dengan aspek aspek lain dalam integrasi yakni aspek politik, ekonomi, dan sosial budaya.
RINGKASAN MATERI
PERTEMUAN KE 7
BAB IV
BAGAIMANA NILAI DAN
NORMA KONSTITUSIONAL UUD NRI 1945 DAN KONSTITUSIONALITAS KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BAWAH UUD?
A. A. Menelusuri Konsep dan Urgensi Konstitusi dalam
Kehidupan Berbangsa-Negara
Konstitusi adalah seperangkat aturan atau
hukum yang berisi ketentuan tentang bagaimana pemerintah diatur dan dijalankan.
Oleh karena aturan atau hukum yang terdapat dalam konstitusi itu mengatur
hal-hal yang amat mendasar dari suatu negara, maka konstitusi dikatakan pula
sebagai hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara.
Istilah konstitusi dikenal dalam sejumlah
bahasa, misalnya dalam bahasa Prancis dikenal dengan istilah constituer, dalam
bahasa Latin/Italia digunakan istilah constitutio, dalam bahasa Inggris
digunakan istilah constitution, dalam bahasa Belanda digunakan istilah
constitutie, dalam bahasa Jerman dikenal dengan istilah verfassung, sedangkan
dalam bahasa Arab digunakan istilah masyrutiyah (Riyanto, 2009). Constituer
(bahasa Prancis) berarti membentuk, pembentukan. Yang dimaksud dengan membentuk
di sini adalah membentuk suatu negara. Kontitusi mengandung permulaan dari
segala peraturan mengenai suatu negara atau dengan kata lain bahwa konstitusi
mengandung permulaan dari segala peraturan mengenai negara (Prodjodikoro,
1970), pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara
(Lubis, 1976), 88 dan sebagai peraturan dasar mengenai pembentukan negara
(Machfud MD, 2001).
Ada banyak pengertian konstitusi yang
dikemukakan oleh para ahli, salah satunya yaitu Lord James Bryce menurutnya
yang dimaksud dengan konstitusi adalah suatu kerangka negara yang
diorganisasikan melalui dan dengan hukum, yang menetapkan lembaga-lembaga yang
tetap dengan mengakui fungsi-fungsi dan hak-haknya. Pendek kata bahwa
konstitusi itu menurut pandangannya merupakan kerangka negara yang
diorganisasikan melalui dan dengan hukum, yang menetapkan lembaga-lembaga yang
tetap (permanen), dan yang menetapkan fungsi-fungsi dan hak-hak dari
lembaga-lembaga permanen tersebut.
Selanjutnya fungsi – fungsi konstitusi, diantaranya :
1)
Konstitusi
berfungsi sebagai landasan kontitusionalisme. Landasan konstitusionalisme
adalah landasan berdasarkan konstitusi, baik konstitusi dalam arti luas maupun
konstitusi dalam arti sempit. Konstitusi dalam arti luas meliputi undang-undang
dasar, undang-undang organik, peraturan perundang-undangan lain, dan konvensi.
Konstitusi dalam arti sempit berupa Undang-Undang Dasar (Astim Riyanto, 2009).
2)
Konstitusi
berfungsi untuk membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa, sehingga
penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Dengan demikian,
diharapkan hak-hak warganegara akan lebih terlindungi. Gagasan ini dinamakan
konstitusionalisme, yang oleh Carl Joachim Friedrich dijelaskan sebagai gagasan
bahwa pemerintah merupakan suatu kumpulan kegiatan yang diselenggarakan oleh
dan atas nama rakyat, tetapi yang dikenakan beberapa pembatasan yang diharapkan
akan menjamin bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintahan itu tidak
disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah (Thaib dan
Hamidi, 1999).
3)
Konstitusi
berfungsi: (a) membatasi atau mengendalikan kekuasaan penguasa agar dalam
menjalankan kekuasaannya tidak sewenang-wenang terhadap rakyatnya; (b) memberi
suatu rangka dasar hukum bagi perubahan masyarakat yang dicitacitakan tahap
berikutnya; (c) dijadikan landasan penyelenggaraan negara menurut suatu sistem
ketatanegaraan tertentu yang dijunjung tinggi oleh semua warga negaranya; (d)
menjamin hak-hak asasi warga negara.
B. B. Perlunya Konstitusi dalam
Kehidupan Berbangsa-Negara Indonesia
C. C. Menggali Sumber Historis,
Sosiologis, dan Politik tentang Konstitusi dalam Kehidupan Berbangsa-Negara
Indonesia
Menurut Hobbes, manusia pada “status
naturalis” bagaikan serigala. Hingga timbul adagium homo homini lupus (man is a
wolf to [his fellow] man), artinya yang kuat mengalahkan yang lemah. Lalu
timbul pandangan bellum omnium contra omnes (perang semua lawan semua). Hidup
dalam suasana demikian pada akhirnya menyadarkan manusia untuk membuat
perjanjian antara sesama manusia, yang dikenal dengan istilah factum unionis. Selanjutnya
timbul perjanjian rakyat menyerahkan kekuasaannya kepada penguasa untuk menjaga
perjanjian rakyat yang dikenal dengan istilah factum subjectionis.
Pemikiran Hobbes tak lepas dari pengaruh
kondisi zamannya (zeitgeistnya) sehingga ia cenderung membela monarkhi absolut
(kerajaan mutlak) dengan konsep divine right yang menyatakan bahwa penguasa di
bumi merupakan pilihan Tuhan sehingga ia memiliki otoritas tidak tertandingi.
94 Pandangan inilah yang mendorong munculnya raja-raja tiran. Dengan
mengatasnamakan primus inter pares dan wakil Tuhan di bumi mereka berkuasa
sewenang-wenang dan menindas rakyat.
Salah satu contoh raja yang berkuasa
secara mutlak adalah Louis XIV, raja Perancis yang dinobatkan pada 14 Mei 1643
dalam usia lima tahun. Ia baru mulai berkuasa penuh sejak wafatnya menteri
utamanya, Jules Cardinal Mazarin pada tahun 1661. Louis XIV dijuluki sebagai
Raja Matahari (Le Roi Soleil) atau Louis yang Agung (Louis le Grand, atau Le
Grand Monarque). Ia memerintah Perancis selama 72 tahun, masa kekuasaan terlama
monarki di Perancis dan bahkan di Eropa.
Louis XIV meningkatkan kekuasaan Perancis di
Eropa melalui tiga peperangan besar: Perang Perancis-Belanda, Perang Aliansi
Besar, dan Perang Suksesi Spanyol antara 1701-1714. Louis XIV berhasil
menerapkan absolutisme dan negara terpusat. Ungkapan "L'État, c'est
moi" ("Negara adalah saya") sering dianggap berasal dari
dirinya, walaupun ahli sejarah berpendapat hal ini tak tepat dan kemungkinan
besar ditiupkan oleh lawan politiknya sebagai perwujudan stereotipe absolutisme
yang dia anut. Seorang penulis Perancis, Louis de Rouvroy, bahkan mengaku bahwa
ia mendengar Louis XIV berkata sebelum ajalnya: "Je m'en vais, mais l'État
demeurera toujours" ("saya akan pergi, tapi negara akan tetap
ada"). Akibat pemerintahannya yang absolut, Louis XIV berkuasa dengan
sewenangwenang, hal itu menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan yang luar
biasa pada rakyat. Sepeninggal dirinya, kekuasaannya yang mutlak dilanjutkan
oleh raja-raja berikutnya hingga Louis XVI. Kekuasaan Louis XVI akhirnya
dihentikan dan dia ditangkap pada Revolusi 10 Agustus, dan akhirnya dihukum dengan
Guillotine untuk dakwaan pengkhianatan pada 21 Januari 1793, di hadapan para
penonton yang menyoraki hukumannya.
Gagasan
untuk membatasi kekuasaan raja atau dikenal dengan istilah konstitusionalisme
yang mengandung arti bahwa penguasa perlu dibatasi kekuasaannya dan karena itu
kekuasaannya harus diperinci secara tegas, sebenarnya sudah muncul sebelum
Louis XVI dihukum dengan Guillotine.
Mengapa diperlukan konstitusi dalam
kehidupan berbangsa-negara ? Jawaban terpenting atas pertanyaan tersebut adalah
agar dapat membatasi kekuasaan pemerintah atau penguasa negara. Sejarah tentang
perjuangan dan penegakan hak-hak dasar manusia sebagaimana terumus dalam
dokumen-dokumen di atas, berujung pada penyusunan konstitusi negara. Konstitusi
negara di satu sisi dimaksudkan untuk membatasi kekuasaan penyelenggaran negara
dan di sisi lain untuk menjamin hakhak dasar warga negara.
Contoh dalam Bab III tentang Kekuasaan
Pemerintahan Negara memuat aturan-aturan dasar sebagai berikut:
1.
Pedoman
bagi Presiden dalam memegang kekuasaan pemerintahan (Pasal 4, Ayat 1).
2.
Syarat-syarat
yang harus dipenuhi oleh calon Presiden dan calon Wakil Presiden (Pasal 6 Ayat
1).
3.
Pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil
Presiden (Pasal 7).
4.
Pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden
dalam masa jabatannya (Pasal 7A dan 7B).
5.
Presiden
tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR (Pasal 7C).
6.
Pernyataan
perang, membuat pedamaian, dan perjanjian dengan negara lain (Pasal 11 Ayat 1,
Ayat 2, dan Ayat 3).
7.
Menyatakan
keadaan bahaya (Pasal 12).
8.
Mengangkat
dan menerima duta negara lain (Pasal 13 Ayat 1, Ayat 2, dan Ayat3).
9.
Pemberian
grasi dan rehabilitasi (Pasal 14 Ayat 1).
10. Pemberian amnesti dan abolisi
(Pasal 14 Ayat 2).
11. Pemberian gelar, tanda jasa, dan
lain-lan tanda kehormatan (Pasal 15).
12. Pembentukan dewan pertimbangan
(Pasal 16).
Semua pasal tersebut berisi
aturan dasar yang mengatur kekuasaan Presiden, baik sebagai kepala negara
maupun kepala pemerintahan. Sebagai kepala negara, Presiden adalah simbol resmi
negara Indonesia di dunia. Sebagai kepala pemerintahan, Presiden dibantu oleh
Wakil Presiden dan menteri-menteri dalam kabinet, memegang kekuasaan eksekutif
untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintah sehari - hari. Aturan-aturan dasar
dalam UUD NRI 1945 tersebut merupakan bukti adanya pembatasan kekuasaan
pemerintahan di Indonesia.
Konstitusi juga diperlukan untuk membagi
kekuasaan dalam negara. Pandangan ini didasarkan pada fungsi konstitusi yang
salah satu di antaranya adalah membagi kekuasaan dalam negara (Kusnardi dan Ibrahim,
1988). Bagi mereka yang memandang negara dari sudut kekuasaan dan menganggap
sebagai organisasi kekuasaan maka konstitusi dapat dipandang sebagai lembaga
atau kumpulan asas yang menetapkan bagaimana kekuasaan dibagi di antara
beberapa lembaga kenegaraan, misalnya antara badan legislatif, eksekutif, dan
yudikatif. Konstitusi menentukan cara-cara bagaimana pusat-pusat kekuasan itu
bekerja sama dan menyesuaikan diri satu sama lain serta merekam
hubungan-hubungan kekuasaan dalam negara.
Setelah memahami mengapa
konstitusi diperlukan, selanjutnya kita pahami apa yang menjadi materi
muatannya. Banyak pendapat yang dikemukakan para ahli tentang apa saja yang
menjadi materi muatan konstitusi itu, diantaranya :
J.
G. Steenbeek
mengemukakan bahwa sebuah konstitusi sekurang-kurangnya bermuatan hal-hal
sebagai berikut (Soemantri, 1987) :
a.
Adanya
jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negara;
b.
Ditetapkannya
susunan ketatanegaraan yg bersifat fundamental;
c.
Adanya pembagian dan pembatasan tugas
kenegaraan yg juga bersifat fundamental.
K.C.
Wheare menegaskan bahwa dalam sebuah negara kesatuan yang perlu diatur
dalam konstitusi pada asasnya hanya tiga masalah pokok berikut (Soemantri,
1987) :
a.
Struktur
umum negara, seperti pengaturan kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan
kekuasaan yudisial.
b.
Hubungan
– dalam garis besar – antara kekuasaan - kekuasaan tersebut satu sama lain.
c.
Hubungan
antara kekuasaan-kekuasaan tersebut dengan rakyat atau warga Negara.
A.A.H.
Struycken menyatakan
bahwa konstitusi dalam sebuah dokumen formal berisikan hal-ahal sebagai berikut
(Soemantri, 1987) :
a.
Hasil
perjuangan politik bangsa di waktu yg lampau 98
b.
Tingkat-tingkat
tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa
c.
Pandangan
tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik untuk waktu sekarang maupun
untuk masa yang akan datang
d.
Suatu
keinginan dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak
dipimpin.
Phillips
Hood & Jackson
menegaskan bahwa materi muatan konstitusi adalah sebagai berikut (Asshiddiqie,
2002): “Suatu bentuk aturan, adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan yang menentukan
susunan dan kekuasaan organ-organ negara yg mengatur hubungan-hubungan di
antara berbagai organ negara itu satu sama lain, serta hubungan organ-organ
negara itu dengan warga negara.”
Miriam
Budiardjo (2003) mengemukakan bahwa setiap UUD
memuat ketentuanketentuan mengenai:
a. Organisasi
negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif dan
yudikatif. (b) Hak-hak asasi manusia.
b.
Prosedur
mengubah UUD.
c.
Adakalanya
memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari UUD.
Hal-hal yang dimuat dalam
konstitusi atau UUD, yaitu :
a. Organisasi
negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif, dan
yudikatif: Pada negara federal, pembagian kekuasaan antara pemerintah federal
dan pemerintah negara-negara bagian, dan tentang prosedur menyelesaikan masalah
pelanggaran yurisdiksi oleh salah satu badan pemerintahan.
b. Hak-hak
asasi manusia. Dalam UUD NRI Tahun 1945, misalnya diatur secara khusus dalam
BAB XA, Pasal 28A sampai Pasal 28 J.
c. Prosedur
mengubah UUD. Dalam UUD NRI Tahun 1945, misalnya diatur secara khusus dalam BAB
XVI, Pasal 37 tentang Perubahan Undang-Undang Dasar.
d. Ada
kalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari UUD. Hal ini
biasanya terdapat jika para penyusun UUD ingin menghindari terulangnya kembali
hal-hal yang baru saja diatasi, seperti misalnya munculnya seorang diktator
atau kembalinya suatu monarki. UUD Federal Jerman melarang untuk mengubah sifat
federalisme dari UUD oleh karena dikuatirkan bahwa sifat unitarisme dapat
melicinkan jalan untuk munculnya kembali seorang diktator seperti Hitler. Dalam
UUD NRI 1945, misalnya diatur mengenai ketetapan bangsa Indonesia untuk tidak
akan mengubah bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 37, Ayat 5).
e.
Memuat
cita-cita rakyat dan asas-asas ideologi negara. Ungkapan ini mencerminkan
semangat (spirit) yang oleh penyusun UUD ingin diabadikan dalam UUD sehingga
mewarnai seluruh naskah UUD itu. Misalnya, UUD Amerika Serikat menonjolkan
keinginan untuk memperkokoh penggabungan 13 koloni dalam suatu Uni, menegaskan
dalam Permulaan UUD: “Kami, rakyat Amerika Serikat, dalam keinginan untuk
membentuk suatu Uni yang lebih sempurna... menerima UUD ini untuk Amerika
Serikat”.
Berdasarkan uraian di atas, maka
kita mempunyai dua macam pengertian tentang konstitusi itu, yaitu konstitusi
dalam arti sempit dan konstitusi dalam arti luas.
a. Dalam
arti sempit, konstitusi merupakan suatu dokumen atau seperangkat dokumen yang
berisi aturan-aturan dasar untuk menyelenggarakan negara.
b. Dalam
arti luas, konstitusi merupakan peraturan, baik tertulis maupun tidak tertulis,
yang menentukan bagaimana lembaga negara dibentuk dan dijalankan.
D. D. Membangun Argumen tentang
Dinamika dan Tantangan Konstitusi dalam Kehidupan Berbangsa-Negara Indonesia
Dalam perkembangannya, tuntutan
perubahan UUD NRI 1945 menjadi kebutuhan bersama bangsa Indonesia. Berdasarkan
hal itu MPR hasil Pemilu 1999, sesuai dengan kewenangannya yang diatur dalam
Pasal 37 UUD NRI 1945 melakukan perubahan secara bertahap dan sistematis dalam
empat kali perubahan, yakni:
- Perubahan Pertama, pada Sidang
Umum MPR 1999.
- Perubahan Kedua, pada Sidang
Tahunan MPR 2000.
- Perubahan Ketiga, pada Sidang
Tahunan MPR 2001.
- Perubahan Keempat, pada Sidang
Tahunan MPR 2002.
Perubahan UUD NRI 1945 yang dilakukan oleh
MPR, selain merupakan perwujudan dari tuntutan reformasi, sebenarnya sejalan
dengan pemikiran pendiri bangsa (founding father) Indonesia. Perubahan yang
dilakukan dimaksudkan guna menyesuaikan dengan tuntutan dan tantangan yang
dihadapi saat itu.
E. E. Mendeskripsikan Esensi dan
Urgensi Konstitusi dalam Kehidupan Berbangsa-Negara
Setelah melewati proses yang
cukup panjang, akhirnya MPR RI berhasil melakukan perubahan UUD NRI 1945.
Perubahan UUD NRI 1945 yang pada mulanya merupakan tuntutan reformasi, dalam
perjalanannya telah menjadi kebutuhan seluruh komponen bangsa.
Hasil perubahan UUD NRI 1945 :
- Perubahan Pertama UUD NRI 1945
dihasilkan pada Sidang Umum MPR 1999 (tanggal 14 sampai 21 Oktober 1999).
- Perubahan Kedua UUD NRI 1945
dihasilkan pada Sidang Tahunan MPR 2000 (tanggal 7 sampai 18 Agustus 2000).
- Perubahan Ketiga UUD NRI 1945 dihasilkan pada Sidang Tahunan MPR 2001 (tanggal 1 sampai 9 November 2001)
- Perubahan Keempat UUD NRI 1945
dihasilkan pada Sidang Tahunan MPR 2002 (tanggal 1 sampai 11 Agustus 2002).
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya,
asal kata konstitusi dalam bahasa Perancis adalah constituer yang berarti membentuk atau pembentukan. Yang dimaksud
dengan membentuk di sini adalah membentuk suatu negara. Oleh karena itu,
konstitusi berarti menjadi dasar pembentukan suatu negara. Dengan demikian
dapat dikatakan tanpa konstitusi, negara tidak mungkin terbentuk.
Dalam negara modern, penyelenggaraan
kekuasaan negara dilakukan berdasarkan hukum dasar (konstitusi). Dengan
demikian konstitusi mempunyai kedudukan atau derajat supremasi dalam suatu
negara. Yang dimaksud dengan supremasi konstitusi adalah konstitusi mempunyai
kedudukan tertinggi dalam tertib hukum suatu negara.
UUD NRI 1945 sebagai konstitusi negara
Indonesia memiliki kedudukan sebagai hukum tertinggi dan hukum dasar negara.
Sebagai hukum tertinggi negara, UUD NRI 1945 menduduki posisi paling tinggi
dalam jenjang norma hukum di Indonesia. Sebagai hukum dasar, UUD NRI 1945
merupakan sumber hukum bagi pembentukan peraturan perundang-undangan di
bawahnya.
Salah satu contoh nyata hasil
perubahan konstitusi kita yang sangat penting bagi upaya penyediaan dana
pembangunan nasional yakni dalam hal pajak di mana dalam Pasal 23A berbunyi
“Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur
dengan undang-undang”. Pasal ini menegaskan perihal pentingnya pajak bagi
keberlangsungan kehidupan negara-bangsa. Oleh karenanya setiap warga negara
hendaknya menyadari atas kewajibannya dalam membayar pajak tersebut.
Lembaga yang memiliki otoritas memungut
pajak di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk "Pajak Pusat" dan Dinas Pendapatan
dan Pengelolaan Aset Daerah (DPPKAD)
atau nama lain yang sejenis untuk
"Pajak Daerah". Sesuai
dengan amanat undang-undang lembaga ini bertugas menghimpun penerimaan pajak.
Apakah lembaga ini menerima pembayaran uang pajak langsung dari Wajib Pajak?
Ternyata tidak demikian. DJP maupun DPPKAD tidak menerima pembayaran uang pajak
langsung dari Wajib Pajak, melainkan hanya mengadministrasikan pembayaran
pajaknya saja.
Program kerja pemerintah pusat
dibiayai melalui skema Daftar Isian Pelaksanaan Kegiatan (DIPA) masing-masing
Kementerian dan Lembaga Negara. Adapun alokasi untuk Pemerintah Daerah,
dijalankan melalui skema "Transfer
ke Daerah" melalui Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK),
dan Dana Bagi Hasil. Selain itu, ada juga skema subsidi Pemerintah Pusat yang
tujuannya untuk mengurangi beban masyarakat.
BAB V
BAGAIMANA HARMONI
KEWAJIBAN DAN HAK NEGARA DAN WARGA NEGARA DALAM DEMOKRASI YANG BERSUMBU PADA
KEDAULATAN RAKYAT DAN MUSYAWARAH UNTUK MUFAKAT ?
A. Menelusuri
Konsep dan Urgensi Harmoni Kewajiban dan Hak Negara dan Warga Negara
Hak adalah kuasa untuk menerima atau
melakukan suatu yang semestinya diterima atau dilakukan oleh pihak tertentu dan
tidak dapat oleh pihak lain mana pun juga yang pada prinsipnya dapat dituntut
secara paksa olehnya. Wajib adalah beban untuk memberikan sesuatu yang
semestinya dibiarkan atau diberikan oleh pihak tertentu tidak dapat oleh pihak
lain mana pun yang pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa oleh yang berkepentingan.
Kewajiban dengan demikian merupakan sesuatu yang harus dilakukan (Notonagoro,
1975).
Hak dan kewajiban merupakan sesuatu yang
tidak dapat dipisahkan. Menurut “teori korelasi” yang dianut oleh pengikut
utilitarianisme, ada hubungan timbal balik antara hak dan kewajiban. Menurut
mereka, setiap kewajiban seseorang berkaitan dengan hak orang lain, dan begitu
pula sebaliknya. Mereka berpendapat bahwa kita baru dapat berbicara tentang hak
dalam arti sesungguhnya, jika ada korelasi itu, hak yang tidak ada kewajiban
yang sesuai dengannya tidak pantas disebut hak.
Sebagai contoh hak dan kewajiban warga
negara yang bersifat timbal balik atau resiprokalitas adalah hak warga negara
mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak (Pasal 27 Ayat 2, UUD 1945). Atas
dasar hak ini, negara berkewajiban memberi pekerjaan dan penghidupan bagi warga
negara. Untuk merealisasikan pemenuhan hak warga negara tersebut, pemerintah
tiap tahun membuka lowongan pekerjaan di berbagai bidang dan memberi subsidi
kepada rakyat.
B. Menanya
Alasan Mengapa Diperlukan Harmoni Kewajiban dan Hak Negara dan Warga Negara Indonesia
Pergerakan budaya rupanya mengikuti
dinamika kehidupan sosial politik di mana tatkala hegemoni kaum kolonial mulai
dipertanyakan keabsahannya maka terjadilah perlawanan kaum tertindas
dimana-mana menuntut hakhaknya yang dirampas. Sejak itulah konsep hak mulai
lebih mengemuka dan menggantikan konsep kewajiban yang mulai meredup. Dewasa
ini kita menyaksikan fenomena yang anomali di mana orang-orang menuntut hak
dengan sangat gigih dan jika perlu dilakukan dengan kekerasan, namun pada saat
tiba giliran untuk menunaikan kewajiban mereka itu tampaknya kehilangan gairah.
C. Menggali
Sumber Historis, Sosiologis, Politik tentang Harmoni Kewajiban dan Hak Negara
dan Warga Negara Indonesia
1.
Sumber
Historis
Secara historis perjuangan menegakkan hak
asasi manusia terjadi di dunia Barat (Eropa). Adalah John Locke, seorang filsuf
Inggris pada abad ke-17, yang pertama kali merumuskan adanya hak alamiah
(natural rights) yang melekat pada setiap diri manusia, yaitu hak atas hidup,
hak kebebasan, dan hak milik. Coba Anda pelajari lebih jauh ihwal kontribusi
John Locke terhadap perkembangan demokrasi dan hak asasi manusia.
Perkembangan selanjutnya ditandai adanya
tiga peristiwa penting di dunia Barat, yaitu Magna Charta (1215), Revolusi Amerika (1276), dan Revolusi Perancis
(1789).
Pada tahun 1997, Interaction Council
mencanangkan suatu naskah, berjudul Universal Declaration of Human
Responsibilities (Deklarasi Tanggung Jawab Manusia). Naskah ini dirumuskan oleh
sejumlah tokoh dunia seperti Helmut Schmidt, Malcom Fraser, Jimmy Carter, Lee
Kuan Yew, Kiichi Miyazawa, Kenneth Kaunda, dan Hassan Hanafi yang bekerja
selama sepuluh tahun sejak bulan Maret 1987. deklarasi ini diadakan karena di
Barat ada tradisi menjunjung tinggi kebebasan dan individualis, sedang di dunia
Timur, konsep tanggung jawab dan komunitas lebih dominan. Konsep kewajiban
berfungsi sebagai penyeimbang antara kebebasan dan tanggung jawab. Hak lebih
terkait dengan kebebasan, sedang kewajiban terkait dengan tanggung jawab.
Tanggung jawab merupakan sikap moral berfungsi sebagai kendala alamiah dan
sukarela terhadap kebebasan yang dimiliki orang lain. Dalam setiap masyarakat
tiada kebebasan tanpa pembatasan. Maka dari itu lebih banyak kebebasan yang
kita nikmati, lebih banyak pula tanggung jawab terhadap orang lain maupun diri
sendiri. Lebih banyak bakat yang kita miliki lebih besar tanggung jawab kita
untuk mengembangkannya.
Prinsip dasar deklarasi ini adalah
tercapainya kebebasan sebanyak mungkin, tetapi pada saat yang sama berkembang
rasa tanggung jawab penuh yang akan memungkinkan kebebasan itu tumbuh. Untuk
mencari keseimbangan antara hak dan kewajiban, ada suatu kaidah emas (Golden
Rule) yang perlu diperhatikan yakni. “Berbuatlah
terhadap orang lain, seperti Anda ingin mereka berbuat terhadap Anda”.
2.
Sumber
Sosiologis
Akhir-akhir ini kita menyaksikan berbagai
gejolak dalam masyarakat yang sangat memprihatinkan, yakni munculnya karakter
buruk yang ditandai kondisi kehidupan sosial budaya kita yang berubah
sedemikian drastis dan fantastis. Bangsa yang sebelumnya dikenal penyabar,
ramah, penuh sopan santun, dan pandai berbasa-basi sekonyong-konyong menjadi
pemarah, suka mencaci, pendendam, perang antar kampung dan suku dengan tingkat
kekejaman yang sangat biadab. Bahkan yang lebih tragis, anakanak kita yang
masih duduk di bangku sekolah pun sudah dapat saling menyakiti. Bagaimana kita
dapat memahami situasi semacam ini? Situasi yang bergolak serupa ini dapat
dijelaskan secara sosiologis karena ini memiliki kaitan dengan struktur sosial
dan sistem budaya yang telah terbangun pada masa yang lalu. Mencoba membaca
situasi pasca reformasi sekarang ini terdapat beberapa gejala sosiologis
fundamental yang menjadi sumber terjadinya berbagai gejolak dalam masyarakat
kita (Wirutomo, 2001).
Ada satu pandangan bahwa Indonesia baru
harus dibangun dari hasil perombakan terhadap keseluruhan tatanan kehidupan
masa lalu. Inti dari cita-cita tersebut adalah sebuah masyarakat sipil
demokratis yang mampu mengharmonikan kewajiban dan hak negara dan warga negara.
Entitas negara persatuan dari bangsa multikultur seperti Indonesia hanya bisa
bertahan lebih kokoh jika bediri di atas landasan pengelolaan pemerintahan yang
sanggup menjamin kesimbangan antara pemenuhan prinsip kebebasan, kesetaraan,
dan persaudaraan, yang berlaku bagi segenap warga dan elemen kebangsaan.
Tuntutan bukan hanya tentang pemenuhan hak-hak individu (individual rights) dan
kelompok masyarakat (collective rights), melainkan juga kewajiban untuk
mengembangkan solidaritas sosial (gotong royong) dalam rangka kemaslahatan dan
kebahagiaan hidup bangsa secara keseluruhan (Latif, 2011).
3.
Sumber
Politik
Sumber politik yang mendasari dinamika
kewajiban dan hak negara dan warga negara Indonesia adalah proses dan hasil
perubahan UUD NRI 1945 yang terjadi pada era reformasi. Pada awal era reformasi
(pertengahan 1998), muncul berbagai tuntutan reformasi di masyarakat. Tuntutan
tersebut disampaikan oleh berbagai komponen bangsa, terutama oleh mahasiswa dan
pemuda.
D.
Membangun Argumen tentang Dinamika dan
Tantangan Harmoni Kewajiban dan Hak Negara dan Warga Negara
1.
Aturan
Dasar Ihwal Pendidikan dan Kebudayaan, Serta Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
2.
Aturan
Dasar Ihwal Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial
3.
Aturan
Dasar Ihwal Usaha Pertahanan dan Keamanan Negara
4.
Aturan
Dasar Ihwal Hak dan Kewajiban Asasi Manusia
E. Mendeskripsikan
Esensi dan Urgensi Harmoni Kewajiban dan Hak Negara dan Warga Negara
Pendekatan kebutuhan warga negara yang
meliputi kebutuhan akan agama, pendidikan dan kebudayaan, perekonomian nasional
dan kesejahteraan rakyat, serta pertahanan dan keamanan.
1. Agama
Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa
yang religius. Kepercayaan bangsa kita kepada Tuhan Yang Maha Esa telah ada
semenjak zaman prasejarah, sebelum datangnya pengaruh agama-agama besar ke
tanah air kita. Karena itu dalam perkembangannya, bangsa kita mudah menerima
penyebaran agama-agama besar itu. Rakyat bangsa kita menganut berbagai agama
berdasarkan kitab suci yang diyakininya. Paham Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi
pandangan dasar dan bersifat primer yang secara substansial menjiwai
keseluruhan wawasan kenegaraan bangsa Indonesia. Itulah sebabnya Pasal 29 Ayat
(1) UUD NRI 1945 menegaskan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Maknanya adalah bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa (jiwa keberagamaan) harus
diwujudkan dalam kerangka kehidupan bernegara yang tersusun dalam UUD NRI 1945.
2. Pendidikan
dan Kebudayaan
Pendidikan dan kebudayaan merupakan dua
istilah yang satu sama lain saling berkorelasi sangat erat. Pendidikan adalah
salah satu bentuk upaya pembudayaan. Melalui proses, pendidikan kebudayaan
bukan saja ditransformasikan dari generasi tua ke generasi muda, melainkan
dikembangkan sehingga mencapai derajat tertinggi berupa peradaban.
Dari rumusan Pasal 31 Ayat (3) UUD NRI 1945
juga terdapat konsep fungsi negara, dalam hal ini pemerintah, yakni mengusahakan
dan sekaligus menyelenggarakan sistem pendidikan nasional. Jika kita menengok
fungsifungsi negara (function of the state) dalam lingkup pembangunan negara
(state-building) cakupannya meliputi hal-hal berikut ini.
- Fungsi minimal: melengkapi sarana
dan prasarana umum yang memadai, seperti pertahanan dan keamanan, hukum,
kesehatan, dan keadilan.
- Fungsi madya: menangani
masalah-masalah eksternalitas, seperti pendidikan, lingkungan, dan monopoli.
- Fungsi aktivis: menetapkan
kebijakan industrial dan redistribusi kekayaan.
Berdasarkan klasifikasi fungsi negara
tersebut, penyelenggaraan pendidikan termasuk fungsi madya dari negara.
Artinya, walaupun bukan merupakan pelaksanaan fungsi tertinggi dari negara,
penyelenggaraan pendidikan juga sudah lebih dari hanya sekedar pelaksanaan
fungsi minimal negara.
3. Perekonomian
Nasional dan Kesejahteraan Rakyat
Sesuai semangat Pasal 33 Ayat (1)
UUD NRI Tahun 1945 asas perekonomian nasional adalah kekeluargaan. Asas
kekeluargaan dapat diartikan sebagai kerja sama yang dilakukan lebih dari
seorang dalam menyelesaikan pekerjaan, baik untuk kepentingan pribadi maupun
kepentingan umum. Hasil pekerjaan bersama memberikan manfaat yang dapat
dinikmati secara adil oleh banyak orang. Tujuannya adalah agar pekerjaan dapat cepat
selesai dan memberi hasil lebih baik.
4. Pertahanan
dan Keamanan
Berdasarkan aturan dasar ihwal pertahanan
dan keamanan Negara Pasal 30 Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 bahwa usaha pertahanan
dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat
semesta (Sishankamrata) oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian
Negara Republik Indonesia (Polri), sebagai komponen utama, dan rakyat, sebagai
kekuatan pendukung. Dengan demikian tampak bahwa komponen utama dalam Sishankamrata
adalah TNI dan Polri.
BAB
VI
BAGAIMANA HAKIKAT, INSTRUMENTASI,
DAN PRAKSIS DEMOKRASI INDONESIA BERLANDASKAN PANCASILA DAN UUD NRI 1945?
A. Menelusuri
Konsep dan Urgensi Demokrasi yang Bersumber dari Pancasila
1.
Apa
Demokrasi itu ?
Secara etimologis, demokrasi berasal dari
bahasa Yunani Kuno, yakni “demos” dan “kratein”.
Berdasarkan
“The Advanced Learner’s Dictionary of Current English (Hornby dkk, 1988) yang
menjelaskan bahwa kata demokrasi merujuk kepada konsep kehidupan negara atau
masyarakat di mana warganegara dewasa turut berpartisipasi dalam pemerintahan
melalui wakilnya yang dipilih; pemerintahannya mendorong dan menjamin
kemerdekaan berbicara, beragama, berpendapat, berserikat, menegakkan ”rule of
law”, adanya pemerintahan mayoritas yang menghormati hak-hak kelompok
minoritas; dan masyarakat yang warga negaranya saling memberi perlakuan yang
sama.
Sebagai suatu sistem sosial kenegaraan,
USIS (1995) mengintisarikan demokrasi sebagai sistem memiliki sebelas pilar
atau soko guru, yakni “Kedaulatan Rakyat, Pemerintahan Berdasarkan Persetujuan
dari yang Diperintah, Kekuasaan Mayoritas, Hak-hak Minoritas, Jaminan Hak-hak
Azasi Manusia, Pemilihan yang Bebas dan Jujur, Persamaan di depan Hukum, Proses
Hukum yang Wajar, Pembatasan Pemerintahan secara Konstitusional, Pluralisme
Sosial, Ekonomi dan Politik, dan Nilai-nilai Toleransi, Pragmatisme, Kerja Sama
dan Mufakat.”
Di lain pihak Sanusi (2006)
mengidentifikasi adanya sepuluh pilar demokrasi konstitusional menurut UUD
1945, yakni: ”Demokrasi yang BerKetuhanan Yang Maha Esa, Demokrasi Dengan
Kecerdasan, Demokrasi yang Berkedaulatan Rakyat, Demokrasi dengan “Rule of
Law”, Demokrasi dengan Pembagian Kekuasaan Negara, Demokrasi dengan Hak Azasi
Manusia, Demokrasi dengan Pengadilan yang Merdeka, Demokrasi dengan Otonomi
Daerah, Demokrasi Dengan Kemakmuran, dan Demokrasi yang Berkeadilan Sosial “.
2.
Tiga
Tradisi Pemikiran Politik Demokrasi
Secara konseptual, seperti dikemukakan
oleh Carlos Alberto Torres (1998) demokrasi dapat dilihat dari tiga tradisi
pemikiran politik, yakni “classical Aristotelian theory, medieval theory,
contemporary doctrine”. Dalam tradisi pemikiran Aristotelian demokrasi
merupakan salah satu bentuk pemerintahan, yakni “…the government of all
citizens who enjoy the benefits of citizenship”, atau pemerintahan oleh seluruh
warganegara yang memenuhi syarat kewarganegaraan. Sementara itu dalam tradisi
“medieval theory” yang pada dasarnya menerapkan “Roman law” dan konsep “popular
souvereignity” menempatkan “…a foundation for the exercise of power, leaving
the supreme power in the hands of the people”, atau suatu landasan pelaksanaan
kekuasaan tertinggi di tangan rakyat. Sedangkan dalam “contemporary doctrine of
democracy”, konsep “republican” dipandang sebagai “…the most genuinely popular
form of government”, atau konsep republik sebagai bentuk pemerintahan rakyat
yang murni.
3.
Pemikiran
tentang Demokrasi Indonesia
Menurut Budiardjo dalam buku DasarDasar Ilmu
Politik (2008), demokrasi yang dianut di Indonesia adalah demokrasi yang
berdasarkan Pancasila yang masih terus berkembang dan sifat dan ciri-cirinya
terdapat pelbagai tafsiran dan pandangan. Meskipun demikian tidak dapat
disangkal bahwa nilai-nilai pokok dari demokrasi konstitusional telah cukup
tersirat dalam UUD NRI 1945.
Menurut Moh. Hatta, kita sudah
mengenal tradisi demokrasi jauh sebelum Indonesia merdeka, yakni demokrasi
desa. Demokrasi desa atau desa-demokrasi merupakan demokrasi asli Indonesia,
yang bercirikan tiga hal yakni 1) cita-cita rapat, 2) cita-cita massa protes,
dan 3) cita-cita tolong menolong. Ketiga unsur demokrasi desa tersebut
merupakan dasar pengembangan ke arah demokrasi Indonesia yang modern. Demokrasi
Indonesia yang modern adalah “daulat rakyat” tidak hanya berdaulat dalam bidang
politik, tetapi juga dalam bidang ekonomi dan sosial.
4.
Pentingnya
Demokrasi sebagai Sistem Politik Kenegaraan Modern
Perkembangan demokrasi semakin pesat dan
diterima semua bangsa terlebih sesudah Perang Dunia II. Suatu penelitian dari
UNESCO tahun 1949 menyatakan “mungkin bahwa untuk pertama kalinya dalam
sejarah, demokrasi dinyatakan sebagai nama yang paling baik dan wajar untuk
semua sistem organisasi politik dan sosial yang diperjuangkan oleh
pendkung-pendukung yang berpengaruh”. Dengan demikian, sampai saat ini, demokrasi
diyakini dan diterima sebagai sistem politik yang baik guna mencapai
kesejahteraan bangsa. Hampir semua negara modern menginginkan dirinya dicap
demokrasi. Sebaliknya akan menghindar dari julukan sebagai negara yang
“undemocracy”.
B. Menanya
Alasan Mengapa Diperlukan Demokrasi yang Bersumber dari Pancasila
Terjadinya krisis partisipasi politik
rakyat disebabkan karena tidak adanya peluang untuk berpartisipasi atau karena
terbatasnya kemampuan untuk berpartisipasi dalam politik. Secara lebih spesifik
penyebab rendahnya partisipasi politik tersebut adalah: (a) Pendidikan yang
rendah menyebabkan rakyat kurang aktif dalam melaksanakan partisipasi politik;
(b) Tingkat ekonomi rakyat yang rendah; dan (c) Partisipasi politik rakyat 156
kurang mendapat tempat oleh Pemerintah.
C. Menggali
Sumber Historis, Sosiologis, dan Politik tentang Demokrasi yang Bersumber dari
Pancasila
Ada tiga sumber yang menghidupkan
cita-cita demokrasi dalam kalbu bangsa Indonesia. Pertama, tradisi kolektivisme
dari permusyawaratan desa. Kedua, ajaran Islam yang menuntut kebenaran dan
keadilan Ilahi dalam masyarakat serta persaudaraan antarmanusia sebagai makhluk
Tuhan. Ketiga, paham sosialis Barat, yang menarik perhatian para pemimpin
pergerakan kebangsaan karena dasar-dasar perikemanusiaan yang dibelanya dan
menjadi tujuannya.
1.
Sumber
Nilai yang Berasal dari Demokrasi Desa
Mengenai adanya anasir demokrasi dalam
tradisi desa kita akan meminjam dua macam analisis berikut :
Pertama, paham kedaulatan rakyat
sebenarnya sudah tumbuh sejak lama di Nusantara.
Kedua, tradisi demokrasi asli
Nusantara tetap bertahan sekalipun di bawah kekuasaan feodalisme raja-raja
Nusantara karena di banyak tempat di Nusantara, tanah sebagai faktor produksi
yang penting tidaklah dikuasai oleh raja, melainkan dimiliki bersama oleh
masyarakat desa.
Ada dua anasir lagi dari tradisi demokrasi
desa yang asli nusantara, yaitu hak untuk mengadakan protes bersama terhadap
peraturan-peraturan raja yang dirasakan tidak adil, dan hak rakyat untuk menyingkir
dari daerah kekuasaan raja, apabila ia merasa tidak senang lagi hidup di sana.
Dalam melakukan protes, biasanya rakyat secara bergerombol berkumpul di
alunalun dan duduk di situ beberapa lama tanpa berbuat apa-apa, yang
mengekspresikan suatu bentuk demonstrasi damai.
2.
Sumber
Nilai yang Berasal dari Islam
Nilai demokratis yang berasal dari Islam
bersumber dari akar teologisnya. Inti dari keyakinan Islam adalah pengakuan
pada Ketuhanan Yang Maha Esa (Tauhid, Monoteisme). Dalam keyakinan ini, hanya
Tuhanlah satu-satunya wujud yang pasti. Semua selain Tuhan, bersifat nisbi
belaka. Konsekuensinya, semua bentuk pengaturan hidup sosial manusia yang
melahirkan kekuasaan mutlak, dinilai bertentangan dengan jiwa Tauhid (Latif,
2011).
Kelanjutan logis dari prinsip Tauhid
adalah paham persamaan (kesederajatan) manusia di hadapan Tuhan, yang melarang
adanya perendahan martabat dan pemaksaan kehendak antarsesama manusia. Sejarah
nilai-nilai demokratis sebagai pancaran prinsip-prisip Tauhid itu dicontohkan
oleh Nabi Muhammad S.A.W. sejak awal pertumbuhan komunitas politik Islam di
Madinah, dengan mengembangkan cetakan dasar apa yang kemudian dikenal sebagai
bangsa (nation). pengaruh Islam di Nusantara membawa transformasi masyarakat
feodal menuju masyarakat yang lebih demokratis.
3.
Sumber
Nilai yang Berasal dari Barat
Masyarakat Barat (Eropa) mempunyai akar
demokrasi yang panjang. Pusat pertumbuhan demokrasi terpenting di Yunani adalah
kota Athena, yang sering dirujuk sebagai contoh pelaksanaan demokrasi
partisipatif dalam negara-kota sekitar abad ke-5 SM. Selanjutnya muncul pula
praktik pemerintahan sejenis di Romawi, tepatnya di kota Roma (Italia), yakni
sistem pemerintahan republik. Pemikiran-pemikiran humanisme dan demokrasi mulai
bangkit lagi di Eropa pada masa Renaissance (sekitar abad ke-14 – 17 M),
setelah memperoleh stimuls baru, antara lain, dari peradaban Islam. Tonggak
penting dari era Renaissance yang mendorong kebangkitan kembali demokrasi di
Eropa adalah gerakan Reformasi Protestan sejak 1517 hingga tercapainya
kesepakatan Whestphalia pada 1648, yang meletakan prinsip co-existence dalam
hubungan agama dan Negara yang membuka jalan bagi kebangkitan Negara-bangsa
(nation-state) dan tatanan kehidupan politik yang lebih demokratis.
Indonesia mengalami praktik demokrasi yang
berbeda-beda dari masa ke masa. Beberapa ahli memberikan pandangannya.
Misalnya, Budiardjo (2008) menyatakan bahwa dari sudut perkembangan sejarah
demokrasi Indonesia sampai masa Orde Baru dapat dibagi dalam empat masa, yaitu:
a.
Masa
Republik Indonesia I (1945-1959) yang dinamakan masa demokrasi konstitusional
yang menonjolkan peranan parlemen dan partai-partai, karena itu dinamakan
Demokrasi Parlementer.
b.
Masa
Republik Indonesia II (1959-1965) yaitu masa Demokrasi Terpimpin yang banyak
penyimpangan dari demokrasi konstitusional yang secara formal merupakan
landasan dan penunjukan beberapa aspek demokrasi rakyat.
c.
Masa
Republik Indonesia III (1965-1998) yaitu masa demokrasi Pancasila. Demokrasi
ini merupakan demokrasi konstitusional yang menonjolkan sistem presidensiil.
d.
Masa
Republik Indonesia IV (1998-sekarang) yaitu masa reformasi yang menginginkan
tegaknya demokrasi di Indonesia sebagai koreksi terhadap praktik-praktik
politik yang terjadi pada masa Republik Indonesia III.
D. Membangun
Argumen tentang Dinamika dan Tantangan Demokrasi yang Bersumber dari Pancasila
1.
Majelis
Permusyawaratan Rakyat
Perubahan dari sistem vertikal hierarkis
dengan prinsip supremasi MPR menjadi sistem yang horizontal fundamental dengan
prinsip checks and balances (saling mengawasi dan mengimbangi) antarlembaga
negara. Dalam kaitan dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara
langsung, timbul 165 kewenangan baru bagi MPR, yakni melantik Presiden dan
Wakil Presiden (Pasal 3 Ayat (2) UUD 1945). Kewenangan lain yang muncul
berdasarkan ketentuan Pasal 3 Ayat (3) UUD 1945 adalah MPR berwenang
memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya menurut
UUD.
2.
Dewan
Perwakilan Rakyat
Setelah memahami isi pesan dari Pasal 20A
UUD NRI Tahun 1945, Menurut ketentuan Pasal 20 A Ayat (1) UUD 1945 fungsi DPR
ada tiga, yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.
(1) Fungsi legislasi adalah
fungsi membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat
persetujuan bersama.
(2) Fungsi anggaran adalah fungsi
menyusun dan menetapkan anggaran pendapatan dan belanja negara bersama Presiden
dengan memperhatikan pertimbangan DPD.
(3) Fungsi pengawasan adalah
fungsi melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang, dan peraturan pelaksanaannya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 20 A Ayat (2)
DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Mari
kita perhatikan apa makna dari ketiga hak DPR tersebut.
(1) Hak interpelasi adalah hak
DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah
yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat
dan bernegara.
(2) Hak angket adalah hak DPR
untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah yang penting dan
strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang
diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Hak menyatakan pendapat adalah hak DPR
sebagai lembaga untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan pemerintah atau
mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau situasi dunia
internasional. Penyampaian hak ini disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya
atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan: hak interpelasi, hak angket, dan
terhadap dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana
berat lainnya atau perbuatan tercela maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden.
3. Dewan Perwakilan Daerah
Ketentuan mengenai Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) merupakan hal baru dalam UUD 1945. Ketentuan ini diatur
dalam bab tersendiri dan terdiri atas 169 dua pasal, yaitu Pasal 22 C dengan 4
ayat dan Pasal 22 D dengan 4 ayat. DPD berperan sebagai lembaga 170 penampung
aspirasi daerah. Demikianlah dinamika yang terjadi dengan lembaga
permusyawaratan dan perwakilan di negara kita yang secara langsung mempengaruhi
kehidupan demokrasi. Dinamika ini tentu saja kita harapkan akan mendatangkan
kemaslahatan kepada semakin sehat dan dinamisnya Demokrasi Pancasila yang
tengah melakukan konsolidasi menuju demokrasi yang matang (maturation
democracy). Hal ini merupakan peluang dan sekaligus tantangan bagi segenap
komponen bangsa.
E. Mendeskripsikan
Esensi dan Urgensi Demokrasi Pancasila
1.
Kehidupan
Demokratis yang Bagaimana yang Kita Kembangkan?
Demokrasi
itu selain memiliki sifat yang universal, yakni diakui oleh seluruh bangsa yang
beradab di seluruh dunia, juga memiliki sifat yang khas dari masing-masing
negara. Sifat khas demokrasi di setiap negara biasanya tergantung ideologi
masing-masing. Demokrasi kita pun selain memiliki sifat yang universal, juga
memiliki sifat khas sesuai dengan budaya bangsa Indonesia yang berdasarkan
Pancasila.
2.
Mengapa
Kehidupan yang Demokratis Itu Penting?
Pada
hakikatnya sebuah negara dapat disebut sebagai negara yang demokratis, apabila
di dalam pemerintahan tersebut rakyat memiliki kesempatan untuk berpartisipasi
dalam pembuatan keputusan, memiliki 173 persamaan di muka hukum, dan memperoleh
pendapatan yang layak karena terjadi distribusi pendapatan yang adil.
a.
Partisipasi
dalam membuat keputusan
b.
Persamaan
kedudukan di mata hukum
c.
Distribusi
pendapatan secara adil
3.
Bagaimana
Penerapan Demokrasi dalam Pemilihan Pemimpin Politik dan Pejabat Negara?
Seorang
pemimpin memang harus yang memiliki kemampuan memadai, sehingga ia mampu
melindungi dan mengayomi rakyatnya dengan baik. Oleh karena itu, seorang
pemimpin harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Berdasarkan sistem demokrasi
yang kita anut seorang pemimpin itu harus beriman dan bertawa, bermoral,
berilmu, terampil, dan demokratis. Maka Jadilah seorang pemimpin yang bermoral,
berakhlak, dan berbudi pekerti luhur yang dapat memberi kemaslahatan bagi
rakyat. Syarat lain bagi seorang pemimpin adalah berilmu, terampil, dan
demokratis.
0 komentar